Selasa, 29 Desember 2015

Mengenang 10 Tahun Perjalanan Ke Aceh



 


Hanya hitungan hari, tahun 2015 akan segera berlalu. Banyak peristiwa, cerita dan kenangan telah mengisi lembaran hidupku selama tahun 2015 ini. Diantara semua moments yang paling berkesan adalah bertemu dengan seorang teman yang memotivasi untuk kembali aktif  ngeblog. Bergabung dengan komunitas baru dan bertemu dengan teman-teman baru yang kece and smart abizz.  Dan untuk menutup tahun 2015 ini, aku ingin menuliskan kembali perjalananku ke Aceh 10 tahun yang lalu, atau tepatnya di tahun 2005. Sebuah perjalanan yang tak kan pernah terlupakan, dan akan  menjadi bagian dari sejarah perjalanan hidupku kelak yang bisa kubagi dengan anak-cucu. Ehemmm...


Tak Ada Yang Kebetulan Dalam Hidup ini, Apapun Bisa Terjadi Bila Allah Berkehendak

Ungkapan itu sepertinya cocok untuk menggambarkan apa yang terjadi 10 tahun yang lalu. Bulan Maret 2005, telepon dari kepala sekolah siang itu mengagetkanku. Intinya sih,  saat itu aku diminta untuk menggantikan guru yang seharusnya berangkat ke Aceh. Ternyata temanku itu tidak di ijinkan berangkat ke Aceh oleh orangtuanya. Masuk di akal jugalah kenapa orangtuanya tidak mengijinkan, karena saat itu  baru 3 bulan yang lalu Aceh di terjang Tsunami yang maha dahsyat. Tepatnya tanggal 26 Desember 2004. Kondisi disana yang belum kondusif , membuat ortu temanku itu kuatir dan takut, aku juga sama sih sebenarnya, takut.

 Buatku ini adalah sebuah kejutan yang tidak kalah dahsyatnya dengan tsunami itu sendiri. Mimpi apa ya aku semalam?. Bingung deh pokoknya, antara percaya dan tidak. Bingung juga bagaimana menjelaskan ke suami. Karena kalau aku berangkat berarti harus meninggalkan suami dan anakku yang waktu itu masih berumur  2.5 tahun selama 5 hari. Padahal sebelumnya aku tuh belum pernah pergi tanpa membawa anak, apalagi sampai menginap berhari-hari segala. 

 Alhamdulillah suami mengijinkan, dan ada mamah yang jagain si sulung Irham Nurushidqi. Waktu keberangkatan sudah  semakin dekat. Makin dekat hari H, makin ngga bisa tidur. Ngga terbayang  bagaimana kondisi di sana, apa saja yang harus aku persiapkan. Bekal apa yang harus dibawa, secara aku tuh belum pernah yang namanya pergi atau bahasa kerennya travelling gitu. Aku juga kepikiran naik pesawat itu kayak gimana ya..., jujur saja, aku kan belum pernah naik pesawat, hehehe...  ngga apa-apa deh dikatain norak juga.

Setelah briefing dari Direktur Yayasan Yasmina ibu Iis Istiqomah, tentang maksud dan tujuan ke Aceh, lumayan deh menghilangkan rasa galau dan takut. Aku berangkat berdua dengan Pak Taufik, beliau yang akan presentasi di sana. Aku juga banyak bertanya sama orang-orang yang biasa travelling apa saja yang harus aku persiapkan, mulai dari bekal pakaian, makanan ringan (jaga-jaga kalau ngga nemu makanan gitu),  obat-obatan, makalah, buku-buku, dan lain-lainnya.  

Masih dalam ketidakpercayaan yang amat sangat, tapi aku meyakini bahwa perjalananku hari itu bukan sebuah kebetulan. Tapi sebuah takdir yang Allah telah gariskan untukku. Apapun bisa terjadi jika Allah berkehendak.


Selamat Datang di Aceh

Dan akhirnya perjalananpun di mulai. Hari Rabu, 9 Maret 2005, pukul 06.00 pagi, dengan pesawat Garuda aku terbang menuju Aceh. Perasaanku saat berjalan menyusuri lorong menuju ke dalam pesawat  campur aduk. Deg-degan, takut tapi  excited. Transit di bandara Polonia Medan, kemudian melanjutkan penerbangan dan sampailah di bandar udara Sultan Iskandar  Muda, Banda Aceh. Lupa-lupa ingat jam berapa ya waktu itu sampai di bandara Aceh, kalau ngga salah sekitar jam 11 gitu deh.  

Siang itu kami sambut oleh mas saiful, seorang relawan dan mahasiswa di Aceh. Ada pengalaman lucu, mereka menganggap aku adalah Rosalina Kusumah, tim dari Bogor yang datang ke Aceh. Ternyata belum dikonfirmasi ulang kalau yang berangkat bukan Bu Rosa, Tapi aku, Bu Ani hehehe.  Dan ternyata dalam tiket pesawatpun yang tertera namanya Rosalina Kusumah, bukan nama aku, duuh.. untung ngga terjadi apa-apa ya. 

Pemandangan pertama yang aku lihat di bandara adalah beberapa tenda pengungsi di sekitar kawasan bandara.  Daerah Bandara memang tidak terjangkau oleh tsunami. Secara umum kondisi Banda Aceh saat aku kesana saat itu sudah relatif rapi. Jalan-jalan sudah bersih dari material yang terbawa tsunami. Gedung-gedung yang rubuh pun sudah dirapikan. Perjalanan pertama kami adalah  mengunjungi kamp pengungsi di daerah Matai, Banda Aceh. Dalam satu tenda besar itu terdiri dari beberapa keluarga. Waktu itu aku tidak terlalu banyak bercakap-cakap dengan para pengungsi,  bingung harus bicara apa ketika berhadapan dengan  mereka.  Sedih dan ikut prihatin pastilah.  Kami di sana ngga terlalu lama. Setelah melihat-lihat beberapa tenda dan menyapa beberapa pengungsi, kemudian perjalanan dilanjutkan ke daerah Aceh Besar, kawasan Pesantren Darul Fallah.  Kami menginap di sana, di sebuah rumah panggung yang mereka sebut Bale. Disanalah kegiatan Workshop tentang Posyandu Plus diselenggarakan.  Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 40 orang. Mereka ibu-ibu kader, guru TK, ada juga bidan dan penyuluh.  Tiga bulan pasca tsunami, sudah tidak terlihat wajah muram dan sedih. Mereka bisa mengikuti kegiatan dengan ceria, bercanda dan tertawa. Kata mereka, air mata kami sudah habis. Ya, karena air mata tak kan mampu membawa kembali apa yang sudah hilang. 

Para relawan, Tim dari Plan Indonesia, Bp, Taufik 

 Kegiatan selama 3 hari lumayan padat. Dimulai jam 08.00 pagi sampai jam 16.00, kemudian dilanjutkan sehabis maghrib. Alhamdulillah disela-sela waktu yang padat itu, panitia memberi waktu kami untuk berkeliling kota Banda Aceh. Sayangnya aku ngga bawa kamera waktu itu. Untungnya ada anak mahasiswa yang mau meminjamkan kamera pocketnya. Walaupun sudah agak rusak, tapi lumayanlah untuk mengabadikan tempat-tempat yang bersejarah saat tsunami melanda. 

Sore itu aku diajak sholat ashar di mesjid Baiturrahman di Banda Aceh, Mesjid dimana menjadi saksi dan tempat di mana ratusan orang menyelamatkan diri saat tsunami meluluh lantahkan kota Banda Aceh.  Dalam perjalanan aku juga melihat sebuah tenda dari relawan asing yang sedang membagikan roti. Para pengungsi berbaris rapi menunggu giliran.  Disepanjang  jalan aku juga melihat banyak mobil  dengan kondisi yang rusak dan penyok  karena hantaman tsunami. Toko-toko yang tidak rusak di kota Banda Aceh sudah banyak yang buka. Pedagang kaki lima pun sudah banyak yang berjualan. Sayangnya aku ngga sempat mencicipi mie Aceh dan kopi Aceh yang terkenal itu. 

di pantai  bersama mba Suhermawan seorang bidan dari Meulaboh
 
Perjalanan berlanjut ke sebuah pantai, lupa deh nama pantainya  apa. Tidak jauh dari  pantai ada sebuah makam, yang anehnya walaupun jaraknya  tidak jauh dari pantai tapi kondisinya tidak rusak atau hilang terbawa arus. Hanya pagarnya agak sedikit penyok. Itulah kekuasaan Allah.  Karena memang banyak sekali keajaiban-keajaiban yang terjadi saat itu dan menjadi saksi bisu dari sebuah peristiwa yang maha dahsyat. Seperti sebuah rumah yang relatif utuh, sementara disekelilingnya semua rumah sudah rata dengan tanah. Aku juga berkesempatan mengunjungi sebuah Kapal yang terdampar diatas sebuah rumah penduduk. Dan katanya perahu itu menyelamatkan puluhan orang saat tsunami menghadang. Dan sekarang lokasi perahu itu menjadi salah satu tempat wisata yang banyak dikunjungi orang.   

Sebuah kapal yang terdampar di atas rumah warga
 
Sebenarnya masih banyak tempat yang ingin dikunjungi, tapi berhubung hari sudah semakin malam, jadilah kami cepat-cepat kembali ke bale. Karena malam itu santri-santri akan menampilkan tarian Saman khas Aceh.  Oh ya, aku juga baru tahu, kalau di Aceh semua kendaraan roda dua itu disebutnya honda atau kereta.  Walaupun  merknya bukan honda tetap saja disebutnya honda. Selama aku  di Aceh terjadi dua kali gempa susulan. Lumayan bikin jantung deg-degan  dan sempat lari keluar rumah.

Anak-anak santri 

Hari terakhir di Aceh, Minggu pagi sebelum diantar ke bandara, aku dan pak Taufik di ajak ke daerah Lepung.  Disebelah kiri  jalan terhampar pantai, dan bangunan disepanjang pantai itu sudah tidak ada. Dan disebelah kanan adalah sebuah perbukitan dengan pohon-pohon yang lebat. Kawasan ini biasanya menjadi tempat bersembunyi kelompok GAM. Tapi setelah tsunami terjadi kawasan ini banyak dijadikan sebagai tempat pengungsi. Aku mengunjungi sebuah barak pengungsi yang sedang dibangun.  Itulah tempat terakhir yang kami kunjungi sebelum kembali ke Bogor.


Karena Ucapan yang Baik itu Sama dengan Sebuah Doa

            Anda percaya bahwa ucapan yang keluar dari mulut kita itu sama dengan doa?. Aku Percaya. Apalagi kalau yang diucapkan itu sesuatu yang baik,  ikhlas, dan lahir dari hati yang  paling dalam. 

Saat peristiwa tsunami terjadi, aku hampir ngga pernah melewatkan pemberitaan tentang kejadian itu dari televisi. Mantengin terus tivi sampai ngga sadar air mata ikut tumpah ruah.  Hati ini rasanya jadi ikut sakit, berduka, sedih, prihatin, kasihan dengan anak-anak kecil yang jadi korban. Banyaknya relawan yang datang dan memberi bantuan untuk warga Aceh membuat aku punya pikiran untuk bisa menjadi relawan seperti mereka. Tanpa sadar aku tuh sampai berucap, “Mau ih jadi relawan ke Aceh. Kalau ngga punya suami dan anak aku mau deh kesana”.

Dan siapa sangka ya, 3 bulan setelah peristiwa itu tiba-tiba kesempatan untuk pergi ke Aceh itu benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Allah Maha Besar.  

Apa ya hikmah dari pengalaman ini?. Ternyata Allah itu sangat dekat. Saking dekatnya, Allah maha Mengetahui apa yang ada dalam hati setiap manusia. ucapan dalam hati yang datang dengan keikhlasan dan kutulusan ternyata benar-benar bisa menjadi sebuah kenyataan, karena buat Allah semua itu mungkin, semua itu mudah, Masya Allah. 

Hikmah lain adalah, jangan pernah berhenti berdoa dan belajar, belajar apapun. Jangan pernah takut untuk bermimpi dan jangan pernah berputus asa untuk dapat meraih dan mewujudkan impian itu karena Allah senantiasa bersama kita, dalam setiap langkah dan helaan nafas kita...

Terima kasih banyak untuk Yasmina dan Sentra ADITUKA Bogor, yang telah memberi kesempatan ini. Sebuah perjalanan yang tak akan pernah terlupakan.

2 komentar:

  1. Keberanian Mba pergi ke Aceh saat itu karena lebih banyak niat baik dalam diri Mba.
    Ini perjalanan sangat mengesankan tentunya Mba :)
    Keren banget!
    Setuju, jangan pernah berhenti bermimpi karena mimpi akan membangun pemcapaian.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih teh Ani sudah berkenan mampir ke blog aku. Terima kasih juga atas motivasi dan ilmu2 yang sudah diberikan. Love u much...

      Hapus