Hanya
hitungan hari, tahun 2015 akan segera berlalu. Banyak peristiwa, cerita dan
kenangan telah mengisi lembaran hidupku selama tahun 2015 ini. Diantara semua
moments yang paling berkesan adalah bertemu dengan seorang teman yang
memotivasi untuk kembali aktif ngeblog.
Bergabung dengan komunitas baru dan bertemu dengan teman-teman baru yang kece and smart abizz. Dan untuk menutup tahun 2015 ini, aku ingin
menuliskan kembali perjalananku ke Aceh 10 tahun yang lalu, atau tepatnya di
tahun 2005. Sebuah perjalanan yang tak kan pernah terlupakan, dan akan menjadi bagian dari sejarah perjalanan
hidupku kelak yang bisa kubagi dengan anak-cucu. Ehemmm...
Tak Ada Yang Kebetulan Dalam Hidup ini, Apapun Bisa Terjadi Bila Allah Berkehendak
Ungkapan itu
sepertinya cocok untuk menggambarkan apa yang terjadi 10 tahun yang lalu. Bulan
Maret 2005, telepon dari kepala sekolah siang itu mengagetkanku. Intinya
sih, saat itu aku diminta untuk
menggantikan guru yang seharusnya berangkat ke Aceh. Ternyata temanku itu tidak
di ijinkan berangkat ke Aceh oleh orangtuanya. Masuk di akal jugalah kenapa
orangtuanya tidak mengijinkan, karena saat itu
baru 3 bulan yang lalu Aceh di terjang Tsunami yang maha dahsyat.
Tepatnya tanggal 26 Desember 2004. Kondisi disana yang belum kondusif , membuat
ortu temanku itu kuatir dan takut, aku juga sama sih sebenarnya, takut.
Buatku ini adalah sebuah kejutan yang tidak
kalah dahsyatnya dengan tsunami itu sendiri. Mimpi apa ya aku semalam?. Bingung
deh pokoknya, antara percaya dan tidak. Bingung juga bagaimana menjelaskan ke
suami. Karena kalau aku berangkat berarti harus meninggalkan suami dan anakku
yang waktu itu masih berumur 2.5 tahun
selama 5 hari. Padahal sebelumnya aku tuh belum pernah pergi tanpa membawa
anak, apalagi sampai menginap berhari-hari segala.
Alhamdulillah suami mengijinkan, dan ada mamah
yang jagain si sulung Irham Nurushidqi. Waktu keberangkatan sudah semakin dekat. Makin dekat hari H, makin ngga
bisa tidur. Ngga terbayang bagaimana
kondisi di sana, apa saja yang harus aku persiapkan. Bekal apa yang harus
dibawa, secara aku tuh belum pernah yang namanya pergi atau bahasa kerennya travelling gitu. Aku juga kepikiran naik
pesawat itu kayak gimana ya..., jujur saja, aku kan belum pernah naik pesawat,
hehehe... ngga apa-apa deh dikatain
norak juga.
Setelah briefing dari Direktur Yayasan Yasmina
ibu Iis Istiqomah, tentang maksud dan tujuan ke Aceh, lumayan deh menghilangkan
rasa galau dan takut. Aku berangkat berdua dengan Pak Taufik, beliau yang akan
presentasi di sana. Aku juga banyak bertanya sama orang-orang yang biasa travelling apa saja yang harus aku
persiapkan, mulai dari bekal pakaian, makanan ringan (jaga-jaga kalau ngga nemu
makanan gitu), obat-obatan, makalah,
buku-buku, dan lain-lainnya.
Masih dalam
ketidakpercayaan yang amat sangat, tapi aku meyakini bahwa perjalananku hari
itu bukan sebuah kebetulan. Tapi sebuah takdir yang Allah telah gariskan
untukku. Apapun bisa terjadi jika Allah berkehendak.
Selamat Datang di Aceh
Dan akhirnya
perjalananpun di mulai. Hari Rabu, 9 Maret 2005, pukul 06.00 pagi, dengan
pesawat Garuda aku terbang menuju Aceh. Perasaanku saat berjalan menyusuri
lorong menuju ke dalam pesawat campur
aduk. Deg-degan, takut tapi excited. Transit di bandara Polonia
Medan, kemudian melanjutkan penerbangan dan sampailah di bandar udara Sultan
Iskandar Muda, Banda Aceh. Lupa-lupa
ingat jam berapa ya waktu itu sampai di bandara Aceh, kalau ngga salah sekitar
jam 11 gitu deh.
Siang itu
kami sambut oleh mas saiful, seorang relawan dan mahasiswa di Aceh. Ada
pengalaman lucu, mereka menganggap aku adalah Rosalina Kusumah, tim dari Bogor
yang datang ke Aceh. Ternyata belum dikonfirmasi ulang kalau yang berangkat
bukan Bu Rosa, Tapi aku, Bu Ani hehehe.
Dan ternyata dalam tiket pesawatpun yang tertera namanya Rosalina
Kusumah, bukan nama aku, duuh.. untung ngga terjadi apa-apa ya.
Pemandangan pertama
yang aku lihat di bandara adalah beberapa tenda pengungsi di sekitar kawasan
bandara. Daerah Bandara memang tidak
terjangkau oleh tsunami. Secara umum kondisi Banda Aceh saat aku kesana saat
itu sudah relatif rapi. Jalan-jalan sudah bersih dari material yang terbawa
tsunami. Gedung-gedung yang rubuh pun sudah dirapikan. Perjalanan pertama kami
adalah mengunjungi kamp pengungsi di
daerah Matai, Banda Aceh. Dalam satu tenda besar itu terdiri dari beberapa
keluarga. Waktu itu aku tidak terlalu banyak bercakap-cakap dengan para
pengungsi, bingung harus bicara apa
ketika berhadapan dengan mereka. Sedih dan ikut prihatin pastilah. Kami di sana ngga terlalu lama. Setelah
melihat-lihat beberapa tenda dan menyapa beberapa pengungsi, kemudian
perjalanan dilanjutkan ke daerah Aceh Besar, kawasan Pesantren Darul
Fallah. Kami menginap di sana, di sebuah
rumah panggung yang mereka sebut Bale. Disanalah kegiatan Workshop tentang
Posyandu Plus diselenggarakan. Kegiatan ini
diikuti oleh kurang lebih 40 orang. Mereka ibu-ibu kader, guru TK, ada juga
bidan dan penyuluh. Tiga bulan pasca
tsunami, sudah tidak terlihat wajah muram dan sedih. Mereka bisa mengikuti
kegiatan dengan ceria, bercanda dan tertawa. Kata mereka, air mata kami sudah
habis. Ya, karena air mata tak kan mampu membawa kembali apa yang sudah hilang.
![]() | |
Para relawan, Tim dari Plan Indonesia, Bp, Taufik |
Kegiatan
selama 3 hari lumayan padat. Dimulai jam 08.00 pagi sampai jam 16.00, kemudian
dilanjutkan sehabis maghrib. Alhamdulillah disela-sela waktu yang padat itu,
panitia memberi waktu kami untuk berkeliling kota Banda Aceh. Sayangnya aku
ngga bawa kamera waktu itu. Untungnya ada anak mahasiswa yang mau meminjamkan
kamera pocketnya. Walaupun sudah agak rusak, tapi lumayanlah untuk mengabadikan
tempat-tempat yang bersejarah saat tsunami melanda.
Sore itu aku
diajak sholat ashar di mesjid Baiturrahman di Banda Aceh, Mesjid dimana menjadi
saksi dan tempat di mana ratusan orang menyelamatkan diri saat tsunami meluluh
lantahkan kota Banda Aceh. Dalam
perjalanan aku juga melihat sebuah tenda dari relawan asing yang sedang membagikan
roti. Para pengungsi berbaris rapi menunggu giliran. Disepanjang
jalan aku juga melihat banyak mobil
dengan kondisi yang rusak dan penyok
karena hantaman tsunami. Toko-toko yang tidak rusak di kota Banda Aceh
sudah banyak yang buka. Pedagang kaki lima pun sudah banyak yang berjualan. Sayangnya
aku ngga sempat mencicipi mie Aceh dan kopi Aceh yang terkenal itu.
![]() | |
di pantai bersama mba Suhermawan seorang bidan dari Meulaboh |
Perjalanan
berlanjut ke sebuah pantai, lupa deh nama pantainya apa. Tidak jauh dari pantai ada sebuah makam, yang anehnya
walaupun jaraknya tidak jauh dari pantai
tapi kondisinya tidak rusak atau hilang terbawa arus. Hanya pagarnya agak
sedikit penyok. Itulah kekuasaan Allah.
Karena memang banyak sekali keajaiban-keajaiban yang terjadi saat itu
dan menjadi saksi bisu dari sebuah peristiwa yang maha dahsyat. Seperti sebuah
rumah yang relatif utuh, sementara disekelilingnya semua rumah sudah rata
dengan tanah. Aku juga berkesempatan mengunjungi sebuah Kapal yang terdampar
diatas sebuah rumah penduduk. Dan katanya perahu itu menyelamatkan puluhan
orang saat tsunami menghadang. Dan sekarang lokasi perahu itu menjadi salah
satu tempat wisata yang banyak dikunjungi orang.
![]() | |
Sebuah kapal yang terdampar di atas rumah warga |
Sebenarnya
masih banyak tempat yang ingin dikunjungi, tapi berhubung hari sudah semakin
malam, jadilah kami cepat-cepat kembali ke bale. Karena malam itu santri-santri
akan menampilkan tarian Saman khas Aceh.
Oh ya, aku juga baru tahu, kalau di Aceh semua kendaraan roda dua itu
disebutnya honda atau kereta.
Walaupun merknya bukan honda
tetap saja disebutnya honda. Selama aku di Aceh terjadi dua kali gempa susulan.
Lumayan bikin jantung deg-degan dan sempat
lari keluar rumah.
![]() | |
Anak-anak santri |
Hari terakhir
di Aceh, Minggu pagi sebelum diantar ke bandara, aku dan pak Taufik di ajak ke
daerah Lepung. Disebelah kiri jalan terhampar pantai, dan bangunan
disepanjang pantai itu sudah tidak ada. Dan disebelah kanan adalah sebuah
perbukitan dengan pohon-pohon yang lebat. Kawasan ini biasanya menjadi tempat
bersembunyi kelompok GAM. Tapi setelah tsunami terjadi kawasan ini banyak dijadikan
sebagai tempat pengungsi. Aku mengunjungi sebuah barak pengungsi yang sedang
dibangun. Itulah tempat terakhir yang
kami kunjungi sebelum kembali ke Bogor.
Karena Ucapan yang Baik itu Sama
dengan Sebuah Doa
Anda
percaya bahwa ucapan yang keluar dari mulut kita itu sama dengan doa?. Aku
Percaya. Apalagi kalau yang diucapkan itu sesuatu yang baik, ikhlas, dan lahir dari hati yang paling dalam.
Saat
peristiwa tsunami terjadi, aku hampir ngga pernah melewatkan pemberitaan
tentang kejadian itu dari televisi. Mantengin terus tivi sampai ngga sadar air
mata ikut tumpah ruah. Hati ini rasanya
jadi ikut sakit, berduka, sedih, prihatin, kasihan dengan anak-anak kecil yang
jadi korban. Banyaknya relawan yang datang dan memberi bantuan untuk warga Aceh
membuat aku punya pikiran untuk bisa menjadi relawan seperti mereka. Tanpa
sadar aku tuh sampai berucap, “Mau ih jadi relawan ke Aceh. Kalau ngga punya
suami dan anak aku mau deh kesana”.
Dan siapa sangka
ya, 3 bulan setelah peristiwa itu tiba-tiba kesempatan untuk pergi ke Aceh itu
benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Allah Maha Besar.
Apa ya hikmah
dari pengalaman ini?. Ternyata Allah itu sangat dekat. Saking dekatnya, Allah
maha Mengetahui apa yang ada dalam hati setiap manusia. ucapan dalam hati yang
datang dengan keikhlasan dan kutulusan ternyata benar-benar bisa menjadi sebuah
kenyataan, karena buat Allah semua itu mungkin, semua itu mudah, Masya Allah.
Hikmah lain
adalah, jangan pernah berhenti berdoa dan belajar, belajar apapun. Jangan
pernah takut untuk bermimpi dan jangan pernah berputus asa untuk dapat meraih
dan mewujudkan impian itu karena Allah senantiasa bersama kita, dalam setiap
langkah dan helaan nafas kita...
Terima kasih
banyak untuk Yasmina dan Sentra ADITUKA Bogor, yang telah memberi kesempatan
ini. Sebuah perjalanan yang tak akan pernah terlupakan.